Judul : Hujan
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan kedua - Januari 2016
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-602-03-2478-4
Harga : Rp68.000
Blurb:
Tentang persahabatan
Tentang cinta
Tentang perpisahan
Tentang melupakan
Tentang hujan
Source: here.“Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, Lail. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Masuk akal, bukan?" - Maryam, halaman 200 |
Lail selalu suka Hujan. Selalu. Sejak ia kecil. Namun, suatu kejadian pada 21 Mei 2042 membuatnya memiliki kenangan mengerikan tentang hujan. Usia Lail baru 13 tahun, kala bencana alam itu terjadi, letusan gunung purba yang mengakibatkan perubahan yang sangat ekstrim bagi bumi, juga merupakan hari yang tak bisa dilupakan bagi mereka yang selamat dari bencana itu. Juga bagi Lail, yang harus menerima kenyataan bahwa ia kehilangan kedua orangtuanya hari itu juga, tepat ketika hujan.
Lail selamat, berkat bantuan seseorang. Anak laki-laki berusia 15 tahun yang menarik tas punggungnya di tangga darurat, menyelamatkan dirinya yang sedang berusaha menolong sang ibu yang telah jatuh empat puluh menter di bawah sana beserta guguran-guguran tanah. Anak laki-laki yang kemudian diketahui Lail bernama Esok, tepatnya Soke Bahtera, yang kemudian menemani Lail melewati masa-masa sulit, yang kelak, menjadi laki-laki yang amat Lail sayangi. Namun, kebersamaan mereka itu tak berlangsung lama.
Satu tahun sejak bencana alam itu, keadaan kota menjadi lebih baik. Panti sosial didirikan untuk mereka yang tak punya tempat tujuan. Lail yang tak tahu harus ke mana, tidak punya pilihan lain selain ikut ke sana, namun tidak bagi Esok. Esok adalah anak yang cerdas, maka ada keluarga yang bersedia mengangkatnya menjadi anak asuh dan menyekolahkannya setinggi mungkin, juga merawat ibunya yang kehilangan kedua kakinya pada bencana mengerikan itu. Maka, sejak saat itu, Lail dan Esok sudah tak lagi ada di jalan yang sama, keduanya telah berada di jalan yang berbeda.
Lail selamat, berkat bantuan seseorang. Anak laki-laki berusia 15 tahun yang menarik tas punggungnya di tangga darurat, menyelamatkan dirinya yang sedang berusaha menolong sang ibu yang telah jatuh empat puluh menter di bawah sana beserta guguran-guguran tanah. Anak laki-laki yang kemudian diketahui Lail bernama Esok, tepatnya Soke Bahtera, yang kemudian menemani Lail melewati masa-masa sulit, yang kelak, menjadi laki-laki yang amat Lail sayangi. Namun, kebersamaan mereka itu tak berlangsung lama.
Satu tahun sejak bencana alam itu, keadaan kota menjadi lebih baik. Panti sosial didirikan untuk mereka yang tak punya tempat tujuan. Lail yang tak tahu harus ke mana, tidak punya pilihan lain selain ikut ke sana, namun tidak bagi Esok. Esok adalah anak yang cerdas, maka ada keluarga yang bersedia mengangkatnya menjadi anak asuh dan menyekolahkannya setinggi mungkin, juga merawat ibunya yang kehilangan kedua kakinya pada bencana mengerikan itu. Maka, sejak saat itu, Lail dan Esok sudah tak lagi ada di jalan yang sama, keduanya telah berada di jalan yang berbeda.
Beberapa tahun setelahnya...
Akhirnya menyelesaikan membaca buku ini. I'm done with you, Soke Bahtera! Buku ini milik Tanteku, yang kupinjam setelah UN pada Mei kemarin, dan baru selesai kubaca beberapa hari lalu. Sebenarnya, pernah berusaha membacanya setelah UN, tapi baru beberapa lembar saja, dan langsung kusimpan lagi di lemari. Nggak mood. Tapi karena grup Line Novel Addict dihebohkan dengan adegan rebut-rebutan Soke Bahtera yang disponsori oleh Icak, Kak Novi, Kak Yasfin, dan masih banyak lagi, rasanya jadi penasaran dan ingin 'bertemu' langsung dengan Esok yang menjadi idola banyak member NA.
Jujur, ini pertama kalinya saya baca novel karya Tere Liye. Sebelumnya saya hanya membaca kumpulan sajak beliau dalam Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta, dan saya suka, yang menjadi favorit saya adalah Sajak UN dan Saat Hujan. Dan Hujan telah membuat saya memberikan kesan pertama yang baik untuk sebuah novel karya Tere Liye. Kemarin, Bumi sudah selesai saya baca, dan buku itu menjadi seri fantasi dalam negeri yang akan saya ikuti ke depannya.
Selain berlatarkan bumi di masa depan dengan tekonologi yang lebih mutakhir dari sekarang, Hujan juga menghadirkan keadaan bumi di masa mendatang menjelang akhir dunia, mengingatkan saya dengan Dunia Anna karya Jostein Gaarder. Saya selalu takut bertemu buku-buku bertema semacam ini.
Hujan menghadirkan tokoh yang memang tidak terlalu unik. Esok, Lail, dan Maryam, memiliki karakter yang pas, tanpa terlalu dilebih-lebihkan. Esok dengan kecerdasannya, Lail dengan perasaannya, dan Maryam yang membuat saya menginginkan sosok sahabat seperti dirinya, yang ada saat saya butuh disadarkan ketika akan melakukan hal-hal bodoh. Namun sayangnya, Esok tidak meninggalkan kesan yang mendalam buatku, meskipun emosinya sangat terasa ketika mendekati ending.
Selama membaca buku ini, dengan sabar saya 'mendengarkan' cerita Lail, berdebar-debar ketika menebak apa yang terjadi setelahnya, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Lail ingin melupakan Hujan? Tapi, akhirnya bisa sedikit bernafas lega saat tiba di lembaran terakhir. Saya meneteskan air mata di bagian-bagian tertentu, terlebih saat mendekati ending. Membayangkan berada di posisi Lail, merasa kehilangan, diabaikan, tidak tahu harus berbuat apa. Dan akhirnya Lail memutuskan pilihannya sendiri untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
Dari Hujan, saya dapat belajar, bahwa melakukan tindakan terburu-buru tanpa berpikir jernih bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah, kesalahpahaman mungkin saja terjadi di dalamnya, dan itu bisa saja memperburuk keadaan. Hidup itu seperti tetesan hujan, yang selalu membawa kenangan, tak luput dari ingatan.
“Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?” – Elijah, Paramedis senior.
“Aku ingin melupakan hujan.” – Lail, Pemegang Lisensi Kelas A Sistem Kesehatan, usia 21 tahun.
“Karena kenangan seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.” - Hujan, halaman 201
Akhirnya menyelesaikan membaca buku ini. I'm done with you, Soke Bahtera! Buku ini milik Tanteku, yang kupinjam setelah UN pada Mei kemarin, dan baru selesai kubaca beberapa hari lalu. Sebenarnya, pernah berusaha membacanya setelah UN, tapi baru beberapa lembar saja, dan langsung kusimpan lagi di lemari. Nggak mood. Tapi karena grup Line Novel Addict dihebohkan dengan adegan rebut-rebutan Soke Bahtera yang disponsori oleh Icak, Kak Novi, Kak Yasfin, dan masih banyak lagi, rasanya jadi penasaran dan ingin 'bertemu' langsung dengan Esok yang menjadi idola banyak member NA.
Jujur, ini pertama kalinya saya baca novel karya Tere Liye. Sebelumnya saya hanya membaca kumpulan sajak beliau dalam Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta, dan saya suka, yang menjadi favorit saya adalah Sajak UN dan Saat Hujan. Dan Hujan telah membuat saya memberikan kesan pertama yang baik untuk sebuah novel karya Tere Liye. Kemarin, Bumi sudah selesai saya baca, dan buku itu menjadi seri fantasi dalam negeri yang akan saya ikuti ke depannya.
Selain berlatarkan bumi di masa depan dengan tekonologi yang lebih mutakhir dari sekarang, Hujan juga menghadirkan keadaan bumi di masa mendatang menjelang akhir dunia, mengingatkan saya dengan Dunia Anna karya Jostein Gaarder. Saya selalu takut bertemu buku-buku bertema semacam ini.
Hujan menghadirkan tokoh yang memang tidak terlalu unik. Esok, Lail, dan Maryam, memiliki karakter yang pas, tanpa terlalu dilebih-lebihkan. Esok dengan kecerdasannya, Lail dengan perasaannya, dan Maryam yang membuat saya menginginkan sosok sahabat seperti dirinya, yang ada saat saya butuh disadarkan ketika akan melakukan hal-hal bodoh. Namun sayangnya, Esok tidak meninggalkan kesan yang mendalam buatku, meskipun emosinya sangat terasa ketika mendekati ending.
Selama membaca buku ini, dengan sabar saya 'mendengarkan' cerita Lail, berdebar-debar ketika menebak apa yang terjadi setelahnya, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Lail ingin melupakan Hujan? Tapi, akhirnya bisa sedikit bernafas lega saat tiba di lembaran terakhir. Saya meneteskan air mata di bagian-bagian tertentu, terlebih saat mendekati ending. Membayangkan berada di posisi Lail, merasa kehilangan, diabaikan, tidak tahu harus berbuat apa. Dan akhirnya Lail memutuskan pilihannya sendiri untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
Dari Hujan, saya dapat belajar, bahwa melakukan tindakan terburu-buru tanpa berpikir jernih bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah, kesalahpahaman mungkin saja terjadi di dalamnya, dan itu bisa saja memperburuk keadaan. Hidup itu seperti tetesan hujan, yang selalu membawa kenangan, tak luput dari ingatan.
Bener banget Ki, di ending emosinya kerasa bangeeet. Apalagi aku baca buku ini kurang dari 24 jam. So, aku yang saat itu yang lagi baca di kamar langsung bertingkah ga keruan pas hampir ending, hehehe. Oya, pendapat kita tentang tokoh Maryam pun sama, menurutku dia sosok sahabat yang baik dan asyikk.
BalasHapusMampir ke sini juga yuk http://ach-bookforum.blogspot.co.id/2016/03/book-review-hujan-tere-liye.html
favoritkuuuuu
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya telah membaca buku ini, sangat menginspirasi
BalasHapushttp://bulubook.com/review/berhentidikamu/