Pages

Minggu, 17 Desember 2017

[Review] Red Rising by Pierce Brown


Judul : Red Rising - Kebangkitan Merah
Penulis : Pierce Brown
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Februari 2017
Tebal : 440 Halaman
ISBN : 9786020332222
Harga : Rp105.000

Blurb:

Patahkan belenggunya. Hiduplah untuk tujuan yang lebih berarti.

Bumi sudah sekarat. Darrow seorang Merah, penambang di bawah permukaan Mars. Misinya adalah mengumpulkan elemen-elemen berharga yang kelak akan dimanfaatkan untuk menjinakkan permukaan Mars dan memungkinkan manusia hidup di sana. Kaum Merah adalah harapan terakhir umat manusia.

Itulah yang mereka yakini, sampai Darrow menyadari semua itu kebohongan besar. Mars sudah layak huni—dan sudah dihuni—selama ratusan tahun, oleh orang-orang yang menyebut diri mereka kaum Emas. Mereka adalah golongan yang menganggap Darrow dan kaumnya hanyalah budak remeh yang bisa dieksploitasi dan disingkirkan tanpa ragu.


“Kita memang kejam, tapi setidaknya kita bukan Merah, kau mengerti?” — Pollux.


Sebagai penggemar The Hunger Games, mendapati Kirkus Reviews mengatakan buku ini merupakan gabungan THG dan GoT tentunya menjadi daya tarik sendiri untukku. Dan benar saja, aku merasakan hawa THG saat membaca bukunya, pembentukan sekutu, pemantauan oleh pihak yang kuasanya lebih tinggi, dan pilihan membunuh... atau dibunuh.

Warna di sini bisa kita anggap seperti Kasta. Penjelasan istilah dalam buku ini cukup detail, mungkin sebagai 'modal' untuk penggambaran buku selanjutnya. Tapi aku nggak bisa bohong bahwa karena penjelasannya yang se-spesifik itu lah, aku ketiduran dua kali saat baca buku ini. Jadi bagi kalian yang kiranya tidak cocok dengan buku yang memiliki penjelasan detail dan alur lambat, harus banyak bersabar saat membaca buku ini. Terutama di bagian operasinya, aku ngantuk parah, semuanya baru seru saat Darrow udah masuk ke sekolah komando. Buku ini tergolong punya plot cerita yang kuat (kuat dalam artian sesungguhnya) yang disertai adegan-adegan kekerasan.

Darrow kiranya memang berfisik dan bersikap Emas saat ini, namun kadang kala batinnya masihlah seorang Merah. Aku dibuat terkejut saat tahu ada Merah lainnya di sekolah komando kaum Emas, dan Darrow menyadarinya, meskipun sudah terlambat.

Peperangan antar House bukan main-main rupanya. Penculikan, perbudakan, pemotongan bagian tubuh, pemerkosaan, dilakukan demi menunjukkan siapa yang terkuat. Bahkan tidak mengenal apakah itu pria atau wanita. Di saat seperti inilah penulis menghadirkan tipu muslihat dan menguji seberapa fokus pembaca menyaksikannya. Aku nggak bisa bayangin se 'ramai' apa jika saja buku ini difilmkan, pasti butuh banyak modal, baik dari biaya dan sumber daya manusia.

Ada bumbu cinta dan pengkhianatan yang muncul menjelang akhir. Endingnya, seperti menjanjikan sebuah awal baru. Aku tidak sabar untuk sesuatu yang melihat Reaper kita yang lebih heroik di buku keduanya.


“Tidak ada pihak yang tidak berdosa dalam permainan ini.” — halaman 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar